Cerita Balik Layar Aksi Damai 212 Yang Didomplengi Aksi Makar


INDOSEJATI.com - (Laporan Utama TEMPO 12 Desember 2016)

Beberapa jam menjelang Aksi Bela Islam III pada 2 Desember lalu, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mencokok sebelas aktivis dengan tuduhan makar. Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan mengatakan ada sejumlah orang yang mendompleng unjuk rasa dengan tujuan menggulingkan pemerintah.

"Pilihannya, kalau tidak diambil, akan terjadi pengerahan massa untuk menduduki DPR dan memaksa sidang istimewa untuk menurunkan Presiden," kata Iriawan.

Mereka yang ditangkap antara lain politikus Partai Gerindra, Eko Suryo Santjojo; Rachmawati Soekarnoputri; mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen; Brigadir Jenderal Purnawirawan Adityawarman Thaha; aktivis Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein; aktivis buruh Alvin Indra Al Fariz; Ratna Sarumpaet; dan Sri Bintang Pamungkas. Satu aktivis lain, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Hatta Taliwang, diciduk di Rumah Susun Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.

Meski menuai banyak protes, Iriawan berkukuh keputusannya tepat dan didasari bukti valid. "Sudah ada permufakatan untuk makar," ujar pria 54 tahun itu.

Sejak menjabat Kepala Polda Metro Jaya pada 16 September lalu, Iriawan mendapat pekerjaan rumah tak ringan untuk mengamankan Aksi Bela Islam. Aksi ini adalah rangkaian demonstrasi berkaitan dengan kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, yang diawali dengan demo 14 Oktober lalu di Balai Kota Jakarta. Iriawan bisa bernapas lega setelah demonstrasi 2 Desember berjalan damai.

Pada Rabu pekan lalu, Iriawan menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, Setri Yasra, Sunudyantoro, Reza Maulana, Syailendra Persada, dan Raymundus Rikang serta fotografer M. Iqbal Ichsan untuk wawancara khusus.

Selama hampir dua jam, diselingi menyantap nasi Padang bungkus, mantan Kepala Polda Jawa Barat itu meladeni pertanyaan Tempo dengan diiringi gelak tawa. Ia menjelaskan pelbagai isu, dari evaluasi demonstrasi, sumber pendanaan unjuk rasa, hingga pesan Presiden Joko Widodo kepadanya.

Demonstrasi 2 Desember berjalan damai. Apa kuncinya?
Ada langkah-langkah preemptive berupa penyamaan persepsi dengan tokoh-tokoh yang turun. Temanya zikir dan doa. Tidak boleh melenceng dari itu. Sebelumnya, ada banyak pertemuan yang dilakukan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dengan para tokoh. Saya jaga jarak karena, pada aksi 4 November, saya setengah dikibulin oleh pemimpin unjuk rasa. Mereka pun tahu saya marah.

Dibohongi seperti apa?
Mereka bilang tak ada kekerasan. Pada 26 Oktober, saya mendatangi silaturahmi FPI (Front Pembela Islam) di kediaman Rizieq (Shihab) di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Rizieq membantah informasi intelijen bahwa akan ada kekerasan dan meyakinkan aksi 4 November berjalan damai. Ia berjanji akan bertanggung jawab apabila terjadi kekacauan. Mereka juga berjanji anggota laskarnya akan menindak provokator di aksi itu. Saya pegang janji tersebut. Kami berpikir mereka tidak akan melakukan kekerasan. Buktinya, terjadi chaos. Padahal petugas hanya bertahan. Saat bentrokan, di barisan depan adalah massa Himpunan Mahasiswa Islam. Jumlahnya cuma sekitar seratus. Kalau laskar FPI mau mencegah, pasti selesai.

Demonstran beralasan sakit hati karena tidak diterima Presiden Joko Widodo?
Saat pertemuan di Megamendung, Rizieq bilang bisa ditemui Wakil Presiden Jusuf Kalla atau Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bila tak diterima Presiden. Hal yang sama dia sampaikan kepada Kapolri. Bahkan, jika misalnya Presiden memutuskan melindungi Ahok, Rizieq berjanji akan menyampaikan itu ke pengunjuk rasa, tanpa marah dan chaos. Yang terjadi, dia berteriak-teriak, "Buka pintu Istana," dan massa terprovokasi. Ada rekamannya.

Benarkah ada skenario memancing kerusuhan setelah unjuk rasa 4 November?
Ada embrio mengulang kerusuhan 1998, dilakukan pendompleng. Makanya kami antisipasi dengan menempatkan pasukan di tempat-tempat yang rawan penjarahan, pencurian, dan perusakan. Kami sudah tahu Muara Karang, Jakarta Utara, akan dihantam. Di Penjaringan ada penjarahan, kapolseknya telat menggeser pasukannya.

Siapa pendompleng itu?
Kami belum bisa mendapatkannya. Yang di Penjaringan, rantai pelaku dan otaknya terputus. Pelan-pelan kami cari ke ujungnya.



Menjelang 4 November, ada provokasi berupa tanda salib di tembok lima masjid di Jakarta. Apakah itu berhubungan dengan rangkaian demo?
Seusai kejadian itu, saya berkoordinasi dengan Pangdam Jaya. Ini bahaya. Jangan sampai mengulang Ambon dan Poso. Saya minta Pangdam Jaya perintahkan babinsa (bintara pembina desa) bergabung dengan Babinkamtibmas (Bintara Pembinaan dan Keamanan Ketertiban Masyarakat) menindak tegas pelakunya. Muncullah perintah tembak di tempat dan hadiah bagi orang yang menangkap pelakunya. Langsung berhenti.

Siapa pelakunya?
Kami tidak mendapatkan pelakunya. Tapi apakah mungkin umat Nasrani memasang tanda salib di masjid di Jakarta? Kan, gila. Jadi ada yang "bermain". Siapa pun pelakunya, tidak penting, karena tidak terjadi lagi.

Apakah gelagat makar sudah tampak menjelang demo 4 November?
Saat 4 November, saya belum mendapat informasi itu, padahal kemungkinannya sudah ada. Makanya kenapa para habib itu berubah seruannya dari "Gantung Ahok" jadi "Lengserkan Jokowi", "Buka Pintu Istana". Kenapa bisa begini? Apa karena semalamnya sudah diatur atau terpengaruh kehadiran Kivlan dan Adityawarman? Mereka ada di mobil komando bersama Rizieq, Bachtiar Nasir, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah. Saya melihat Rachmawati juga di mobil, di bagian bawah. Orang-orang seperti Kivlan dan Adityawarman, yang mendompleng, bertujuan menggulingkan pemerintah. Berbeda dengan Rizieq yang soal Ahok. Tapi, menjelang malam, berubah. Rizieq meminta buka pintu Istana. Mungkin suntikan dari mereka.

Itu sebabnya polisi menangkap mereka menjelang demo 2 Desember?
Ya, mereka mendompleng. Skenarionya, massa berzikir yang cair akan diantar oleh Rizieq sampai Bundaran HI, lalu dia kembali ke Monas. Oleh Kivlan dan kawan-kawan, massa itu akan digiring ke DPR, bergabung dengan massa dari Aliansi Masyarakat Jakarta Utara (AMJU) dan Komando Barisan Rakyat (Kobar). Makanya mereka menginap di Hotel Sari Pan Pacific (satu kilometer di selatan Monas dan satu kilometer di utara Bundaran Hotel Indonesia). Mereka juga memanfaatkan buruh. Massa direncanakan berjalan ke DPR untuk menduduki dan menuntut sidang istimewa untuk menjatuhkan Presiden. Jadi sudah ada permufakatan untuk makar dan terkena hukum pidana pasal 107 dan 87.

Keputusan menangkap mereka datang dari siapa?
Saya. Pada Kamis, 1 Desember 2016, sekitar pukul 21.00. Pilihannya, kalau tidak diambil, akan terjadi pengerahan massa untuk menduduki DPR. Memang pertahanan kami di DPR kuat, tapi pasti akan sangat capek tenaga dan pikiran serta bisa jatuh korban. Apalagi Rizieq sudah bilang di luar Monas bukan tanggung jawab dia.

Anda juga berkoordinasi dengan Kodam Jaya?
Saya melapor ke Kapolri bersama Pangdam Jaya di rumah dinas Kapolri. Selagi saya bicara dengan Kapolri, Pangdam melapor kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Apa yang membuat Anda yakin mereka berencana menggulingkan pemerintah?
Persiapannya sudah dari beberapa waktu lalu. Ada pertemuan di Guntur, rumah Rachmawati, dan lainnya. Ada perencanaan, langkah-langkah, massa yang dilibatkan. Kami menemukan adanya aliran uang untuk membiayai makar. Saat ini masih diselidiki bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Aliran dana itu diselidiki lewat bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Apa hasilnya?
Ada unit khusus yang memeriksa. Sejauh ini belum keluar indikasi dari mana asal pendanaan makar, tapi pasti akan ketahuan. Kesulitannya ialah mereka tak mengirim dari rekening ke rekening.

Apakah benar dugaan ada skenario Kivlan Zen menyiapkan pasukan bermotor untuk ditabrakkan ke polisi?
Ada. Dia siapkan 184 orang. Makanya kami tangkap Kivlan malam itu. Belum ada indikasi orang-orang itu di mana, tapi kami lihat Kobar dan AMJU sudah jalan. Kami temukan Rijal "Kobar" di kedai 7 Eleven Gambir.

Benarkah Rachmawati meminta kepada Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, agar buruh ikut demo?
Permintaan itu ada, tapi Said tak merespons karena tujuan dia bukan makar, melainkan memprotes Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Saya bilang ke Said, "Lu jangan turun." Ia bilang enggak gabung karena merasa demonstrasi 2 Desember adalah masalah politik, sementara dia berfokus pada isu regulasi pengupahan itu.

Tak mendapat respons dari buruh, apakah para aktivis ini mencoba menarik massa organisasi kemasyarakatan Islam?
Ada ajakan terhadap kelompok Islam pimpinan Rizieq. Namun Rizieq tak merespons karena Kapolri sudah mendekati lebih dulu dan bilang bahwa FPI boleh unjuk rasa dalam konteks zikir dan doa bersama. Tapi, kalau sampai makar, Rizieq tak ada kaitannya. Mungkin ia tahu bahwa massanya akan diambil.

Apa alasan polisi melepas sebagian besar tersangka seusai pemeriksaan?
Alasan kemanusiaan dan kooperatif. Rachmawati enggak bisa diperiksa karena tensinya langsung tinggi setiap mau ditanya. Toh, memulangkan mereka tak menghilangkan delik pidananya. Mereka memang sudah sepuh, tapi semangatnya untuk melakukan makar tetap tinggi.

Mengapa Sri Bintang Pamungkas tetap ditahan?
Dia tak kooperatif. Melawan terus. Enggak mau teken berita acara pemeriksaan.

Apa peran Sri Bintang dalam permufakatan tersebut?
Sri Bintang sama saja. Dia bergabung dengan kelompok Kivlan dan kawan-kawan serta jadi sosok yang paling keras. Mereka memanggil Sri Bintang "mahaguru". Alat bukti dia yang paling lengkap.

Di antara tokoh yang Anda tangkap, ada dua purnawirawan jenderal. Apakah itu tidak menyinggung Tentara Nasional Indonesia?
Mereka orang sipil. Saya sudah lapor Panglima TNI dan Pangdam Jaya sebelum menangkap. Mereka bilang nama tentara bisa jelek kalau benar kejadian makar. TNI Angkatan Darat sangat profesional.

Di media sosial telanjur tersebar TNI marah pada penangkapan itu...
Itu hoax. Permainan semua di media sosial itu. Pengelola Dragon TV, yang memprovokasi lewat video kemarahan TNI atas penangkapan purnawirawan jenderal, akan kami tangkap. Saya sudah konfirmasi ke Cina bahwa tak ada Dragon TV. Sedikit lagi bisa tertangkap.


Mana yang lebih repot penanganannya: demonstrasi 4 November atau 2 Desember?
Sebetulnya, kalau kami tak mengambil aktivis itu pada malam harinya, repotnya hampir sama dengan 4 November. Tapi, lantaran kami berpengalaman pada 4 November, sebelum 2 Desember sudah melakukan langkah-langkah pencegahan hukum yang didasari alat bukti permulaan yang cukup. Jadi aksi 2 Desember lebih ringan buat saya.

Anda berada di lapangan saat Presiden Joko Widodo mendadak memutuskan salat Jumat bersama pengunjuk rasa 2 Desember. Bagaimana situasi massa saat itu?
Kami semua kaget karena sebelumnya tak ada agenda itu. Bisa saja ada yang membawa senjata di antara jemaah salat Jumat itu. Sebab, malam sebelumnya, kami menerima informasi ada penyusup yang bakal membawa molotov. Indikasinya pengikut kelompok Islam garis keras, seperti Mujahidin Indonesia Timur. Makanya, pagi harinya, kami sweeping di tiap pintu masuk dengan bantuan pasukan tambahan dari Brimob dan Kodam Siliwangi. Saya tidak terlalu percaya informasi itu, tapi tetap kami antisipasi. Itu memberi efek deterrent (jera).

Anda tampaknya yakin sekali unjuk rasa 2 Desember akan aman...
Karena punya pengalaman demonstrasi 4 November, saya ambil langkah penangkapan pada malam sebelumnya. Kalau saya tak bertindak, bisa terjadi benturan. Begitu leader-nya diambil, pasukannya jadi tak jelas, seperti anak ayam kehilangan induk.

Meski aktivis sudah ditangkap, kepolisian tetap menjaga ketat kompleks parlemen. Bagaimana situasi di sana saat 2 Desember?
Kami tahu kompleks DPR akan diduduki, maka kami terapkan pengamanan maksimal di sana. Ada 56 kompi atau sekitar 5.600 personel. Pintu semua sudah ditutup. Pada Kamis sore, 1 Desember 2016, sudah tidak ada lagi orang kecuali petugas pengamanan dalam (pamdal) dan polisi. Pokoknya harus steril. Saya juga sudah berkoordinasi dengan pimpinan DPR, Setya Novanto dan Ade Komarudin.

Bagaimana jika massa masuk ke gedung parlemen bersama anggota Dewan?
Saya beri komando ke pasukan agar jangan kasih kesempatan anggota DPR masuk, seperti saat demo 4 November, sekalipun yang minta Ketua DPR atau MPR. Maka gembok gerbang DPR itu ada tiga: milik pamdal, polisi, dan Kodam. Kalau, misalnya, pamdal ditekan Sekretariat Jenderal untuk membuka, masih ada gembok saya dan Kodam.

Bagaimana reaksi Istana atas penangkapan aktivis yang diduga akan melakukan makar?
Tentu menanggapi positif karena tidak sampai ada kejadian. Pada unjuk rasa 4 November, Presiden Jokowi menelepon saya dan bilang, "Pak Kapolda, saya mau kunjungan kerja. Tolong soft, ya." Saya ingat betul pesan itu.

Kabarnya bakal ada demonstrasi susulan pada 6 Januari 2017?
Mau 6-1, 7-2, terserahlah. Pokoknya, sebelum ada gerakan, saya bersihkan dulu. Saya tak mau terulang lagi bentrokan 4 November. Daripada anak buah saya dan masyarakat kena.(*)



Sumber: TEMPO edisi cetak

No comments:

Post a Comment