INDOSEJATI.com - Kapten Raymond Westerling adalah veteran perang dunia II. Usai perang dunia II, Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia. Saat itulah Westerling ditugasi melatih pasukan elite Belanda di Indonesia, Depot Speciale Troepen, tahun 1946. Westerling memilih orang-orang yang kebanyakan kejam dan berangasan, tapi memiliki skill militer yang menonjol.
Westerling kemudian dikirim ke Sulawesi. Dia ditugasi memadamkan perlawanan gerilyawan Republik di sana. Maka Westerling berangkat dengan 130 pasukan baret hijau miliknya.
Westerling melakukan teror di Sulawesi. Dia berkeliling satu kampung ke kampung lainnya dengan jeep. Di satu kampung yang diduga markas gerilyawan, Westerling akan mengumpulkan orang-orang di tanah lapang. Lalu dia akan menembaki mereka satu persatu hingga ada yang memberi tahu lokasi para gerilyawan.
Hobi Menembak
Westerling juga punya hobi menembak. Biasanya jika ada gerilyawan yang tertangkap, Westerling akan menyuruhnya lari. Setelah jaraknya 50 meter, Westerling akan mengacungkan senjatanya dan dorrr! Gerilyawan itu akan tewas dengan lubang di kepala.
Sang kapten pun gemar menembak orang yang ditemuinya di jalan. Enteng saja Westerling membunuh orang yang diduga pejuang kemerdekaan. Prajurit baret hijau Westerling tak kalah kejam dari komandannya. Mereka membunuh dan memperkosa rakyat sebagai kesenangan.
Serdadu baret hijau itu sangat loyal pada Westerling. Pasukan di Sulawesi itulah cikal bakal Korps Speciale Troepen (KST). Mereka juga yang nantinya ikut Westerling memberontak di Bandung.
Bukan hanya rakyat Sulawesi, sesama tentara Belanda yang asli bule pun takut pada Westerling. Mereka merasa apa yang dilakukan Westerling terlalu brutal.
Kekejaman Westerling akhirnya terendus pers Belanda. Mereka menulis kekejaman yang dilakukan Westerling di koran-koran Belanda. Tentu saja hal ini jadi sorotan. Masyarakat Eropa masih segar dengan ingatan akan kekejaman Nazi Jerman. Kini setelah Nazi kalah, Belanda melakukan kekejaman yang sama di Indonesia. Masyarakat Eropa muak akan kekejaman itu.
Maka mau tak mau pimpinan militer Belanda menarik Westerling dan pasukannya dari Sulawesi. Westerling dipindahkan ke Batujajar, Bandung. Dia kembali ditugasi melatih pasukan baret hijau Belanda.
Antara tahun 1946-1947 di Sulawesi, masyarakat mencatat Westerling membunuh 40 ribu jiwa. Sementara itu Belanda mengaku hanya membunuh 2 ribu orang. Westerling sendiri tak pernah diadili atas kejahatan perang yang dia lakukan. Hingga akhir hayatnya.
Monumen Pembantaian Westerling
11 Desember diperingati sebagai hari berkabung rakyat Sulawesi Selatan. Peringatan itu ditandakan untuk mengenang kembali peristiwa jatuhnya korban yang tidak terhitung jumlahnya akibat teror 123 tentara Belanda pimpinan Kapten KNIL, Raymond Paul Piere Westerling.
Inilah monumen korban 40 ribu jiwa, bukti catatan peradaban sejarah yang menjadi lokasi wisata di Kota Makassar. Di tempat monumen didirikan, telah terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Westerling. Pembantaian ini terjadi pada 1946-1947. Dalam catatannya, kepala Korp Pasukan Khusus (Korps Speciale Troepen) itu kerap menerapkan metode pembersihan yang cenderung membabi buta.
Monumen dengan simbol patung tanpa lengan dan tanpa kaki sebelah adalah ungkapan bentuk pembantaian yang tidak terhingga, di mana prosesi pembantaian Westerling dimulai pada subuh hari, 11 Desember 1946, di Desa Batua Makassar.
Sepenggal cerita ini pun berawal dari 3.000 jiwa dikumpulkan di lapangan terbuka dengan 44 orang dianggap teroris, termasuk 9 pemuda yang mencoba melarikan diri. Semua dibantai.
Kekejaman pun berlanjut dengan terjadinya penembakan dan pembakaran di kawasan Tanjung Bunga, berlanjut pembunuhan pada 16 Desember 1946 dengan menewaskan 33 penduduk Sulawesi Selatan yang dianggap menjadi gerilyawan. Semua dibunuh. Dibantai. Pembantaian berlanjut ke Kabupaten Gowa dengan menewaskan 257 orang.
Di balik kisahnya, aksi Westerling pun berakhir pada 16-17 Februari 1947. Namun, gejolak kembali terjadi di Mandar yang menelan korban 364 jiwa. Belanda baru mengakhiri dan menarik pasukan dari Sulawesi Selatan pada 21 Februari 1947.
***
Indonesia telah merdeka, namun pembantaian tetap membekas dalam nadi rakyat Sulsel. Relief pada dinding-dinding monumen menandai kepedihan rakyat Sulsel. Ada juga patung dengan tinggi sekitar 4 meter yang menggambarkan korban selamat, tetapi kaki buntung dan salah satu lengannya menggunakan penyangga.Bangunan dengan corak pagar berwarna merah tetap dilestarikan dan menjadi ingatan bagi para sanak keluarga yang ditinggal.Monumen tersebut letaknya sekitar 4 kilometer sebelah utara pusat kota Makassar.
Sumber: merdeka.com | viva.co.id
No comments:
Post a Comment